Teori
agensi merupakan salah satu teori dasar yang digunakan untuk menjelaskan
hubungan yang terjadi pada praktek bisnis modern, yakni hubungan keagenan (agency relationship) antara prinsipal
sebagai pemilik perusahaan dan agen sebagai pengelola perusahaan. Pada
perusahaan besar saat ini, pemilik perusahaan direpresentasikan secara langsung
oleh pemegang saham dan pengelola adalah manajemen perusahaan. Dari hubungan
inilah seluruh asumsi mengenai teori agensi dibangun.
Menurut
Eisenhardt (1989), teori keagenan dilandasi oleh tiga asumsi, yaitu:
1.
Asumsi tentang sifat manusia
Asumsi
tentang sifat manusia mengemukakan bahwa manusia memiliki kecenderungan untuk
mementingkan diri sendiri (self
interest), memiliki keterbatasan rasionalitas (bounded rationality), dan menghindari risiko (risk aversion).
2.
Asumsi tentang keorganisasian
Asumsi
keorganisasian mengemukakan adanya konflik antar anggota organisasi, efisien
sebagai kriteria produktivitas dan adanya asimetris informasi antara pemilik
perusahaan dan manajemen.
3.
Asumsi tentang informasi.
Asumsi
Informasi menerangkan bahwa informasi dipandang sebagai komoditas yang dapat
diperjual-belikan.
Jensen dan Meckling (1976) sebagai
yang pertama kali melakukan eksposisi teoritis mengenai teori agensi
mendefinisikan hubungan keagenan sebagai berikut:
We
define an agency relationship as a contract under which one or more persons
(the principal(s)) engage another person (the agent) to perform some service on
their behalf which involves delegating some decision making authority to the
agent. If both parties to the relationship are utility maximizers, there is
good reason to believe that the agent will not always act in the best interests
of the principal.
Dari
kutipan di atas kita dapat mengetahui bahwa hubungan keagenan adalah sebuah
kontrak antara seorang atau lebih prinsipal dengan orang lain yang disebut agen
untuk melaksanakan sejumlah jasa dan mendelegasikan sejumlah wewenang
pengambilan keputusan kepada agen, demi memaksimalkan kepentingan prinsipal.
Akan tetapi
dalam pelaksanaannya, agen tidak selalu bertindak berdasarkan kepentingan
prinsipal. Sebagaimana yang dikemukakan. Manajemen
bisa melakukan tindakan-tindakan yang tidak menguntungkan perusahaan secara
keseluruhan yang dalam jangka panjang bisa merugikan kepentingan perusahaan.
Bahkan untuk mencapai kepentingannya sendiri, manajemen bisa bertindak
menggunakan akuntansi sebagai alat untuk melakukan rekayasa. Perbedaan
kepentingan antara prinsipal dan agen inilah disebut dengan Agency Problem yang salah satunya disebabkan oleh
adanya Asymmetric Information.
(Arifin, 2005:7)
Manajemen
diasumsikan seringkali bertindak berdasarkan kepentingan pribadi (Self Interest) sehingga terjadi konflik
kepentingan antara pemegang saham dan manajemen yang pada akhirnya merugikan pemegang saham. Arifin (2005:7)
menyebutkan bahwa
“Perbedaan Kepentingan kepentingan antara prinsipal dan agen inilah disebut
dengan Agency Problem yang salah satunya disebabkan
oleh adanya Asymmetric Information.”
Menurut
Arifin (2005:7-8) salah satu penyebab terjadinya permasalahan agensi adalah
adanya Informasi Asimetri (Asymmetric
Information).
Informasi
yang dimiliki oleh pemegang saham dan pihak manajemen tidak merata. Dimana
pemegang saham tidak memperoleh seluruh informasi yang dibutuhkan dari pihak
manajemen untuk menilai kinerja yang telah dilakukan oleh pihak manajemen.
Sebab manajemen perusahaan, dilatar belakangi oleh kepentingannya, memberikan
informasi yang tidak menggambarkan keadaan perusahaan yang sesungguhnya.
Diperlukan
sejumlah biaya untuk mengatasi permasalahan agensi dan meminimalisir terjadinya
kecurangan yang terjadi. Biaya tersebut diistilahkan sebagai biaya keagenan (Agency Cost), Jensen dan Meckling (1976)
mengidentifikasi biaya tersebut menjadi
tiga jenis, yaitu:
1.
Biaya
monitoring (The monitoring cost), merupakan
biaya yang dikeluarkan oleh prinsipal untuk melakukan pengawasan terhadap agen.
2. Biaya bonding (The bonding cost), merupakan biaya yang dikeluarkan oleh
agen untuk meyakinkan pemegang saham bahwa manajemen perusahaan berjalan dengan
sebagaimana semestinya.
3. Biaya kerugian residual (The residual loss), merupakan kerugian
menurunnya nilai pasar akibat adanya hubungan keagenan yang ikut memengaruhi
berkurangnya kesejahteraan pemegang saham.
Anggraini
(2011) menyimpulkan bahwa teori agensi paling tidak memiliki dua tujuan, yaitu:
1.
Untuk
meningkatkan kemampuan individu (baik prinsipal maupun agen) dalam mengevaluasi
lingkungan dimana suatu keputusan harus diambil (The Belief Revision Role).
2.
Untuk
mengevaluasi hasil dari keputusan yang telah diambil untuk memudahkan
pengalokasian hasil antara prinsipal dan agen sesuai dengan persetujuan dalam
kontrak kerja (The Performance Evaluation
Role).
Hubungan
penting teori agensi dengan pelaksanaan corporate
governance adalah persoalan agensi yang kemudian coba untuk diselesaikan
dengan menyelaraskan kepentingan antara pemegang saham dan manajemen dengan
berbagai mekanisme yang dikenal dalam corporate
governance. Mekanisme tersebut antara lain (Warsono dkk, 2009:11-12), yaitu:
1.
Melakukan
kontrak-kontrak remunerasi dan utang untuk manajer.
2.
Kontrak-kontrak
utang.
3.
Pemegang
saham mempunyai hak untuk memengaruhi cara perusahaan dijalankan melalui voting
dalam rapat umum pemegang saham (RUPS)
4.
Pemegang
saham melakukan resolusi yang mana suatu kelompok pemegang saham secara
kolektif melakukan lobby terhadap
manajer (mewakili perusahaan) berkenaan isu-isu yang tidak memuaskan mereka.
5.
Pemegang
saham juga mempunyai opsi disinvestasi (menjual saham mereka) sebagai tanda
ketidakpuasan atas kinerja manajemen perusahaan.
Teori Agensi dari Perspektif Islam
Hubungan
keagenan yang mengemukakan bahwa manusia senantiasa bersifat oportunis dan
senantiasa diwarnai konflik kepentingan, oleh sejumlah pihak dianggap
bermasalah dan tidak sejalan dengan prinsip Islam. Padahal Islam sangat
menjunjung nilai persaudaraan (ukhuwah) yang
mendorong seseorang untuk saling mencintai, mempercayai serta mengutamakan orang
lain yang dimotivasi atas keimanan kepada Allah SWT.
Anggraeni (2011)
Mengemukakan berkenaan dengan perspektif Islam dalam memandang teori agensi
sebagai berikut:
Namun demikian jika dilihat dari hakekat amanah itu datangnya
dari Allah, baik manajer maupun direksi telah melakukan tindakan yang tidak
sesuai ajaran amanah. Melanggar amanah merupakan tindakan yang menuju kearah
berkhianat, dan hal yang demikian ini merupakan perbuatan yang dilarang dan
larangan dalam agama adalah ‘dosa’.
Teori agensi mengeleminir sikap amanah
yang harus dimiliki oleh seseorang. Dimana setiap pihak baik pemilik saham dan utamanya
pihak manajer yang telah diamanahi, wajib menjalankan sesuatu yang telah
disepakati serta menghindari sikap khianat.
Islam
mengajarkan ummatnya untuk mendahulukan sikap positif dalam melihat hubungan
atau kontrak antar sesama manusia terlebih lagi terhadap sesama muslim. Hal ini
akan mewujudkan sikap saling percaya dari para pelaku bisnis.
Penelitian
Lewis mengindikasikan bahwa pelaksanaan Islamic
corporate governance memiliki kedekatan dengan model stewardship theory. Dimana manajer diasumsikan termotivasi untuk
mencapai tujuan perusahaan, memiliki komitmen tinggi dan bekerja berdasarkan
kepentingan pemegang saham. Dan asumsi ini sangat bertolak belakang dengan
asumsi yang dibangun dalam teori agensi.
Pandangan Islam
didasarkan atas sikap yang mengutamakan persaudaraan dan amanah, meskipun
demikian dalam dinamika kehidupan khususnya bisnis, Islam tidak menutup
kemungkinan terjadinya tindakan-tindakan oportunis. Hal ini dapat dilihat dari
adanya terminologi seperti, munafik dan fasik
yang mengharuskan adanya tindakan antisipatif berupa pengawasan untuk
menghalangi prilaku yang merugikan.
Dari sisi
pengawasan, kita bisa melihat keterhubungan sekaligus perbedaan antara konsep
teori agensi dan konsep Islam. Baik sistem konvensional maupun Islam sama-sama
mendorong adanya pengawasan dan mengajukan mekanisme pengawasan yang dianggap
mampu mengurangi terjadinya kecurangan. Namun model pengawasan bisnis dalam
perspektif Islam memiliki perbedaan dari apa yang telah disebutkan dalam teori
agensi.
Manhaj
Islam mempunyai kelebihan, penggabungan antara pengawasan dari luar dan
pengawasan dari dalam. Dasarnya adalah bahwa seorang muslim mengawasi dirinya
sendiri, karena pengawasan dari luar hanya mencakup apa yang dilihat oleh
manusia (Al-Haritsi, 2006:588)
Didasari
atas filosofi Islam maka untuk menjamin bahwa etika bisnis telah dilaksanakan
dan mencegah penyimpangan, terdapat dua konsep pengawasan, yakni pengawasan
pribadi (Internal) dan pengawasan dari luar (eksternal). Pada dasarnya seorang
muslim mengawasi dirinya sendiri yang merupakan implementasi dari sifat amanah
dan untuk melengkapi pengawasan secara pribadi dilakukan pengawasan dari luar
seperti pada institusi hisbah yang
dicontohkan oleh Rasulullah Saw dan dilaksanakan dengan baik pada masa Khalifah
Umar Ra. Selain itu terdapat institusi lain seperti dewan syariah, dewan syura dan audit religius yang akan
dijelaskan kemudian.
6 komentar:
Perbedaan kepentingan itu seperti apa dan konfliknya selain yg di jelaskan di atas apa saja ?
makasih
terimakasih
bisa dicantumin daftar pustakanya kak ?
untuk referensi silahkan langsung merujuk ke skripsi kami
di Link ini
http://repository.unhas.ac.id/handle/123456789/10879
atau googling di sini
ANALISIS PRAKTIK ISLAMIC CORPORATE GOVERNANCE PADA PERBANKAN SYARIAH (Studi Kasus pada PT Bank Muamalat Indonesia Tbk Cabang Makassar)
UMMAH, MUWAHID
Posting Komentar