oleh:
Marzuki Umar
Dalam satu sisi, hidup adalah pilihan. Pilihan yang menentukan kebaikan seorang hamba kelak. Salah
menetapkan sebuah pilihan bakal berujung penyesalan seumur hidup. Demikianlah
sunnatullah berlaku. Bahwa dalam hidup ini, tak jarang Allah Ta’ala sodorkan
dua hal yang mengharuskan untuk mengambil satu diantaranya. Dan disinilah
kejujuran iman dan semangat itu teruji.
Hal Inilah yang dahulu pernah dihadapi oleh
seorang lelaki shaleh. Tak lama setelah mengambil keputusan mengakhiri masa
lajangnya, jiwanya terpanggil oleh sebuah keputusan yang jauh lebih berat.
Tinggal bersama istri terkasih, atau mengembara ke kota Madinah untuk menuntut
ilmu. Sementara, sang istri yang baru dinikahinya itu sedang mengandung buah
cinta mereka. Akhirnya iapun memutuskan pilihannya, “Aku telah bertekad
melakukan perjalanan ini untuk menuntut ilmu. Dan sepertinya aku tidak akan
kembali kecuali setelah berlalu masa yang panjang. Bila engkau mau, aku
akan melepaskan ikatan (pernikahan) kita secara baik-baik.
Tapi bila engkau rela bersabar menjadi istriku, aku pun akan melakukannya. Sungguh, aku tak tahu pasti kapan akan kembali kepadamu.” Dan Ternyata,
sang istri memilih tetap menjaga ikatan suci itu, kendati sadar akan
konsekwensi dari pilihannya tersebut.
Berangkatlah sang suami menempuh perjalanan panjang menuju Kota Madinah. Menikmati jernihnya mata air ilmu. Perhatiannya semata
tertuju pada
ilmu. Begitu nikmatnya, hingga tak terasa roda
zaman bergulir seiring pergantian hari dan musim. Di saat yang sama, nun jauh
di negeri seberang, dalam penantiannya, sang istri pun melahirkan seorang bayi laki-laki, yang dididik hingga tumbuh dewasa.
Sementara sang suami sama sekali tidak menyadari hal itu. Sebab komunikasi antar
keduanya terhalangi bentangan gurun pasir yang seakan tak bertepi. Tujuh belas
tahun pun berlalu...
Pembaca budiman, simaklah penuturan lelaki
shaleh ini. “Suatu hari, saat aku berada di sisi Imam Malik dalam majelisnya, tiba-tiba masuk seorang
pemuda belia. Wajahnya tertutup selembar kain. Ia
lantas mengucapkan
salam kepada Imam Malik, lalu bertanya, “Apakah di antara kalian ada yang bernama Abdur Rahman
al-Utaqi?”. Orang-orang yang hadir saat itupun serentak menunjuk diriku. Ia kemudian menghampiriku, merangkulku, lalu mengecup
keningku. Firasatku seketika mengatakan, bahwa ia
adalah putraku. Dan ternyata betul, pemuda itu benar-benar anakku yang
dulu aku tinggalkan saat masih dalam kandungan istriku. Sekarang ia telah besar dan tumbuh menjadi
seorang pemuda.”
Subhanallah, sungguh kesabaran luar
biasa dari dua insan yang menakjubkan.
Terutama sang istri yang mulia. Nampak padanya kesabaran
mulai dari mengandung dalam keadaan ditinggal suami, melahirkan, membesarkan,
hingga sang anak tumbuh dewasa, dan kemudian menyusul ayahnya ke kota Madinah
untuk tujuan menuntut ilmu di sisi Imam Darul Hijrah, Malik bin Anas rahimahullah.
Dialah Imam Abdur Rahman
al-Utaqi. Murid kenamaan Imam Malik. Mufti
Mesir di masanya. Pendapat-pendapatnya menjadi
perkataan yang paling didengar dalam Madzhab
Malikiyah. Hingga tatkala seseorang ingin
mengetahui pandangan Imam Malik terhadap satu masalah,
mereka akan datang kepada sang Alim ini, Abdur Rahman
al-Utaqi.
Ketahuilah, kemuliaan itu tidak datang begitu
saja. Beliau rahimahullah menebusnya dengan pengorbanan besar. Mungkin bagi sebagian kita peristiwa ini
aneh
dan terkesan berlebih. Namun begitulah keajaiban iman yang nampak dari diri ulama salaf.
Semangat mereka yang luar biasa terhadap
ilmu. Tidak mudah memang. Tapi ia setimpal dengan janji Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam: “Siapa yang menempuh jalan untuk menuntut ilmu, maka
Allah akan menuntun jalannya menuju syurga." (H.R. Abu Daud dan
At-Tirmizi)
Kebangkitan
Islam, Berangkat dari Kebangkitan Ilmu Syar'i
Tradisi ilmu dalam masyarakat Islam telah nampak sejak
diproklamirkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melalui ayat al-Qur;an
yang pertama turun, “Iqra’”, bacalah! Dari sini, maka terbitlah semangat generasi-generasi utama Islam dalam menuntut ilmu yang belum pernah ada duanya dalam sejarah manusia. Zaman yang bergulir rasanya belum sanggup
mengulangi kesuksesan tersebut. Dimana saat itu Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam berhasil mengubah masyarakat yang buta huruf menjadi masyarakat yang
cinta ilmu, juga mengubah masyarakat Jahiliyyah menjadi sebuah masyarakat
beradab dan berperadaban tinggi.
Tidak sampai di situ saja, uniknya tradisi ilmu
syar'i tersebut tetap terpelihara dan lestari hingga ribuan tahun. Contohnya
banyak sekali. Diriwayatkan, bahwa Jabir bin Abdullah menempuh perjalanan
sebulan penuh dari kota Madinah menuju kota ‘Arisy di Mesir
hanya untuk menuntut satu Hadits. Yah, hanya satu hadits. Imam Ahmad
pernah menempuh perjalanan ribuan kilomater untuk mencari satu Hadits. Dan yang paling fenomenal adalah semangat
dari Imam
Bukhari. Beliau menulis kitab Shahih-nya selama 16
tahun. Tak ada satu hadits pun yang beliau masukkan dalam Kitab Shahihnya,
melainkan didahului dengan sholat dua rakaat dan doa mohon petunjuk dari Allah
Ta’ala. Maka tak heran jika kemudian karyanya itu menjadi kitab paling shohih
di atas muka bumi setelah al-Qur’an.
Tentu saja kita tidak menafikan hajat manusia terhadap
cabang ilmu umum lainnya. Namun kejayaan yang kita maksud di sini adalah wujudnya sebuah peradaban hakiki yang dibangun atas landasan ilmu syar’i, dan bukan seperti
kejayaan nisbi hasil ilmu sekuler, kendati sanggup menguasai teknologi. Mereka tak kuasa mempersembahkan
kepada umat manusia sebuah kebahagiaan hakiki.
Tengoklah kemajuan Negeri Barat. Kendati
mengalami percepatan dalam hal kecanggihan teknologi, sayangnya ia tidak kuasa
menyentuh kebutuhan jiwa mendasar manusia yang mendambakan keadilan, keamanan
dan kasih sayang. Kekuatan dan semangat yang mereka bangun ternyata bersumber
dari asas dan semangat intimidasi imprealisme. Makanya di belahan bumi sana,
saudara-saudara kita di Iraq, Palestina, Afghanistan, dan selainnya merasakan
kejamnya dampak dari kemajuan ilmu dan teknologi Barat yang tidak didasari oleh
asas ilmu Syar’i tersebut. Apalagi tatanan ekonomi yang mereka jajakan, pun
tidak lepas dari tujuan terselubung, memeras dan menghisap darah negara-negara
kecil, hingga nampak begitu jelas kemiskinan merebak serta ketimpangan sosial ekonomi
masyarakat yang jauh dari jangkauan nalar sehat.
Olehnya, penguasaan individu terhadap ilmu
syar'i yang dikolaborasikan dengan
cabang-cabang ilmu umum, itulah yang bakal mempersembahkan kembali peradaban
besar bagi umat manusia. Peradaban yang telah menoreh jejak
emas dalam sejarah. Sebab intinya adalah mengembalikan
manusia kepada fitrahnya, yaitu ubudiyah hanya kepada
Allah semata.
Ketika Robi' bin Amir ditanya oleh Jenderal Rustum, panglima
Persia, “Apa tujuan kalian?” Tegas Robi’ menjawab, “Allah mengutus kami untuk membebaskan manusia dari penyembahan sesama manusia menuju penyembahan hanya kepada
Tuhannya manusia (Allah Ta’ala) membebaskan manusia dari kesempitan menuju kelapangan hidup di
dunia, dan dari penindasan berbagai agama menuju keadilan islam.”
Peradaban yang dibangun oleh Islam adalah Peradaban Tauhid, yang memadukan antara dunia dan akhirat, serta aspek jiwa dan raga. Bukan peradaban yang memuja materi, dan bukan pula peradaban yang meninggalkan materi secara totalitas. Maka pada titik inilah, tradisi ilmu dalam Islam itu berbeda dengan tradisi ilmu dalam masyarakat Barat. Wallahu A'lam.
0 komentar:
Posting Komentar