Pages

 

Selasa, 04 Desember 2012

Mengembalikan Tradisi Ilmu Syar'i

0 komentar



oleh:

Marzuki Umar

Dalam satu sisi, hidup adalah pilihan. Pilihan yang menentukan kebaikan seorang hamba kelak. Salah menetapkan sebuah pilihan bakal berujung penyesalan seumur hidup. Demikianlah sunnatullah berlaku. Bahwa dalam hidup ini, tak jarang Allah Ta’ala sodorkan dua hal yang mengharuskan untuk mengambil satu diantaranya. Dan disinilah kejujuran iman dan semangat itu teruji.

Hal Inilah yang dahulu pernah dihadapi oleh seorang lelaki shaleh. Tak lama setelah mengambil keputusan mengakhiri masa lajangnya, jiwanya terpanggil oleh sebuah keputusan yang jauh lebih berat. Tinggal bersama istri terkasih, atau mengembara ke kota Madinah untuk menuntut ilmu. Sementara, sang istri yang baru dinikahinya itu sedang mengandung buah cinta mereka. Akhirnya iapun memutuskan pilihannya, “Aku telah bertekad melakukan perjalanan ini untuk menuntut ilmu. Dan sepertinya aku tidak akan kembali kecuali setelah berlalu masa yang panjang. Bila engkau mau, aku akan melepaskan ikatan (pernikahan) kita secara baik-baik. Tapi bila engkau rela bersabar menjadi istriku, aku pun akan melakukannya. Sungguh, aku tak tahu pasti kapan akan kembali kepadamu.” Dan Ternyata, sang istri memilih tetap menjaga ikatan suci itu, kendati sadar akan konsekwensi dari pilihannya tersebut.

Berangkatlah sang suami menempuh perjalanan panjang menuju Kota Madinah. Menikmati jernihnya mata air ilmu. Perhatiannya semata tertuju pada ilmu. Begitu nikmatnya, hingga tak terasa roda zaman bergulir seiring pergantian hari dan musim. Di saat yang sama, nun jauh di negeri seberang, dalam penantiannya, sang istri pun melahirkan seorang bayi laki-laki, yang dididik hingga tumbuh dewasa. Sementara sang suami sama sekali tidak menyadari hal itu. Sebab komunikasi antar keduanya terhalangi bentangan gurun pasir yang seakan tak bertepi. Tujuh belas tahun pun berlalu...
Pembaca budiman, simaklah penuturan lelaki shaleh ini. “Suatu hari, saat aku berada di sisi Imam Malik dalam majelisnya, tiba-tiba masuk seorang pemuda belia. Wajahnya tertutup selembar kain. Ia lantas mengucapkan salam kepada Imam Malik, lalu bertanya, “Apakah di antara kalian ada yang bernama Abdur Rahman al-Utaqi?”. Orang-orang yang hadir saat itupun serentak menunjuk diriku. Ia kemudian menghampiriku, merangkulku, lalu mengecup keningku. Firasatku seketika mengatakan, bahwa ia adalah putraku. Dan ternyata betul,  pemuda itu benar-benar anakku yang dulu aku tinggalkan saat masih dalam kandungan istriku. Sekarang ia telah besar dan tumbuh menjadi seorang pemuda.”

Subhanallah, sungguh kesabaran luar biasa dari dua insan yang menakjubkan. Terutama sang istri yang mulia. Nampak padanya kesabaran mulai dari mengandung dalam keadaan ditinggal suami, melahirkan, membesarkan, hingga sang anak tumbuh dewasa, dan kemudian menyusul ayahnya ke kota Madinah untuk tujuan menuntut ilmu di sisi Imam Darul Hijrah, Malik bin Anas rahimahullah.
Dialah Imam Abdur Rahman al-Utaqi. Murid kenamaan Imam Malik. Mufti  Mesir di masanya. Pendapat-pendapatnya menjadi perkataan yang paling didengar dalam Madzhab Malikiyah. Hingga tatkala seseorang ingin mengetahui pandangan Imam Malik terhadap satu masalah, mereka akan datang kepada sang Alim ini, Abdur Rahman al-Utaqi.

Ketahuilah, kemuliaan itu tidak datang begitu saja. Beliau rahimahullah menebusnya dengan pengorbanan besar. Mungkin bagi sebagian kita peristiwa ini aneh dan terkesan berlebih. Namun begitulah keajaiban iman yang nampak dari diri ulama salaf. Semangat mereka yang luar biasa terhadap ilmu. Tidak mudah memang. Tapi ia setimpal dengan janji Rasulullah shallallahu alaihi wasallam: “Siapa yang menempuh jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah akan menuntun jalannya menuju syurga." (H.R. Abu Daud dan At-Tirmizi)

Kebangkitan Islam, Berangkat dari Kebangkitan Ilmu Syar'i

Tradisi ilmu dalam masyarakat Islam telah nampak sejak diproklamirkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melalui ayat al-Qur;an yang pertama turun, Iqra’, bacalah! Dari sini, maka terbitlah semangat generasi-generasi utama Islam dalam menuntut ilmu yang belum pernah ada duanya dalam sejarah manusia. Zaman yang bergulir rasanya belum sanggup mengulangi kesuksesan tersebut. Dimana saat itu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berhasil mengubah masyarakat yang buta huruf menjadi masyarakat yang cinta ilmu, juga mengubah masyarakat Jahiliyyah menjadi sebuah masyarakat beradab dan berperadaban tinggi.

Tidak sampai di situ saja, uniknya tradisi ilmu syar'i tersebut tetap terpelihara dan lestari hingga ribuan tahun. Contohnya banyak sekali. Diriwayatkan, bahwa Jabir bin Abdullah  menempuh perjalanan sebulan penuh dari kota Madinah menuju kota ‘Arisy di Mesir hanya untuk menuntut satu Hadits. Yah, hanya satu hadits. Imam Ahmad pernah menempuh perjalanan ribuan kilomater untuk mencari satu Hadits. Dan yang paling fenomenal adalah semangat dari Imam Bukhari. Beliau menulis kitab Shahih-nya selama 16 tahun. Tak ada satu hadits pun yang beliau masukkan dalam Kitab Shahihnya, melainkan didahului dengan sholat dua rakaat dan doa mohon petunjuk dari Allah Ta’ala. Maka tak heran jika kemudian karyanya itu menjadi kitab paling shohih di atas muka bumi setelah al-Qur’an.

Tentu saja kita tidak menafikan hajat manusia terhadap cabang ilmu umum lainnya. Namun kejayaan yang kita maksud di sini adalah wujudnya sebuah peradaban hakiki yang dibangun atas landasan ilmu syar’i, dan bukan seperti kejayaan nisbi hasil ilmu sekuler, kendati sanggup menguasai teknologi. Mereka tak kuasa mempersembahkan kepada umat manusia sebuah kebahagiaan hakiki.
Tengoklah kemajuan Negeri Barat. Kendati mengalami percepatan dalam hal kecanggihan teknologi, sayangnya ia tidak kuasa menyentuh kebutuhan jiwa mendasar manusia yang mendambakan keadilan, keamanan dan kasih sayang. Kekuatan dan semangat yang mereka bangun ternyata bersumber dari asas dan semangat intimidasi imprealisme. Makanya di belahan bumi sana, saudara-saudara kita di Iraq, Palestina, Afghanistan, dan selainnya merasakan kejamnya dampak dari kemajuan ilmu dan teknologi Barat yang tidak didasari oleh asas ilmu Syar’i tersebut. Apalagi tatanan ekonomi yang mereka jajakan, pun tidak lepas dari tujuan terselubung, memeras dan menghisap darah negara-negara kecil, hingga nampak begitu jelas kemiskinan merebak serta ketimpangan sosial ekonomi masyarakat yang jauh dari jangkauan nalar sehat.

Olehnya, penguasaan individu terhadap ilmu syar'i yang dikolaborasikan dengan cabang-cabang ilmu umum, itulah yang bakal mempersembahkan kembali peradaban besar bagi umat manusia. Peradaban yang telah menoreh jejak emas dalam sejarah. Sebab intinya adalah mengembalikan manusia kepada fitrahnya, yaitu ubudiyah hanya kepada Allah semata.

Ketika Robi' bin Amir ditanya oleh Jenderal Rustum, panglima Persia, “Apa tujuan kalian?” Tegas Robi’ menjawab, “Allah mengutus kami untuk membebaskan manusia dari penyembahan sesama manusia menuju penyembahan hanya kepada Tuhannya manusia (Allah Ta’ala) membebaskan manusia dari kesempitan menuju kelapangan hidup di dunia, dan dari penindasan berbagai agama menuju keadilan islam.”

Peradaban yang dibangun oleh Islam adalah Peradaban Tauhid, yang memadukan antara dunia dan akhirat, serta  aspek jiwa dan raga. Bukan peradaban yang memuja materi, dan bukan pula peradaban yang meninggalkan materi secara totalitas. Maka pada titik inilah, tradisi ilmu dalam Islam itu berbeda dengan tradisi ilmu dalam masyarakat Barat. Wallahu A'lam.

testing

0 komentar:

Posting Komentar

 
Read more: http://www.bum1.info/2012/04/cara-membuat-navigasi-paging-halaman.html#ixzz1rc16orji