Pages

 

Rabu, 28 Agustus 2013

MEMBENTENGI PEMIKIRAN DARI PENYIMPANGAN

0 komentar
Seorang pemuda dengan sangat polosnya bercerita tentang awal mula perubahan haluan ideologinya. Ia menyebutkan beberapa problem yang menjadi pemicu perubahan tersebut. Bila diamati, problem tersebut esensinya hanya merupakan syubhat biasa dan mudah dipatahkan, bahkan terkadang tidak begitu menarik untuk dibantah.
Seorang pemuda lainnya cukup aktif mengikuti forum diskusi ilmiah dengan kaum atheisme, dan selalu merekam berbagai problem yang diangkat dalam memorinya. Ketika keluar dari forum tersebut, konsistensinya terhadap agama semakin menguat. Berbagai syubhat yang dilontarkan justru menambah tinggi simpati dan semangatnya untuk mempelajari hukum-hukum Islam secara lebih intensif, agar kelak ia mampu membelanya. Meski pada saat itu, ia belum mampu membantah syubhat-syubhat yang ada.
Dalam dua kasus di atas, kita sama-sama dihadapkan pada syubhat dan problema. Namun pada kasus pertama, syubhat tersebut telah menimbulkan perubahan signifikan, meski ia hanya syubhat ringan. Dan pada kasus kedua, syubhat tersebut tidak berpengaruh sama sekali, bahkan sebaliknya menambah kokoh keyakinan si pemuda.
Realita di atas menuntun kita pada suatu fakta, bahwa problem sebenarnya tidaklah terletak pada syubhat, persoalan, atau sesuatu yang terbersit dalam hati seorang muslim.  Masalah sesungguhnya ada pada sikap dan problem solvingnya.
Jika seorang muslim tidak tahu hukum syari'at tertentu, atau beberapa hukumnya sulit dicerna, atau ia tidak mengetahui hikmahnya, atau sulit mengorelasikan antara beberapa nash, ini semua lumrah adanya. Hampir semua muslim mengalaminya. Ini adalah fenomena alamiah dari realita manusia itu sendiri, yang memiliki hawa nafsu, bersifat lemah, lupa, dan minim pengetahuan. Karenanya, sikap paling bijaksana dalam kondisi di atas adalah tunduk pada syari'at. 
Para sahabat saja, sering bertanya kepada Rasulullah tentang berbagai permasalahan yang mereka hadapi.
Ketika Aisyahradhiyallahu 'anhamendengar Rasulullah bersabda:"Barang siapa suka bertemu dengan Allah, maka Allah suka bertemu dengannya. Dan barang siapa benci bertemu dengan Allah, maka Allah juga tidak suka bertemu dengannya."Aisyah langsung berkata:"Yang kami benci sebenarnya adalah kematian."[1]
Saat beliau mendengar Rasulullahshallallahu 'alaihi wasallambersabda:"Siapa saja dihisab, niscaya ia diazab."Maka Aisyah menimpali: "Bukankah AllahTa'alaberfirman:"Maka ia akan diperiksa dengan pemeriksaan yang mudah."(QS. al-Insyiqaq: 8)[2]
Jadi, munculnya permasalahan atau pertanyaan bukanlah sebuah kesalahan. Sebab ia tidak bertentangan dengan sikap patuh dan tunduk, bahkan dapat menuntun pada kepatuhan sempurna kepada Allah dan Rasul-Nya.
Bahaya muncul saat seseorang tidak mampu menyikapi berbagai masalah dan syubhat tersebut secara profesional. Sehingga dapat meruntuhkan pilar-pilar syari'at dan memberi nutrisi kepada penyimpangan cukup mendalam. Bila saja ia menghadapi masalah tersebut dengan manhaj yang benar serta metode yang logis dan obyektif, niscaya penyimpangan tersebut dapat dihindari.
Berbagai persoalan yang ada, perlu dihadapi dengan pendahuluan sistematis, alur pemikiran yang jernih lagi komprehensif. Bukan sekedar bantahan dengan logika atau nukilan semata. Bila ditakdirkan menemukan pendahuluan sistemik tersebut, pasti penulis akan mengukir di pintunya sebuah spanduk besar, bertuliskan ungkapan Rasulullah kepada Asyaj Abdul Qais:"Sesungguhnya pada dirimu ada dua sifat yang disukai Allah dan Rasul-Nya, yakni lemah lembut dan al-anaat/tenang dan tak tergesa-gesa."[3]
Orang yang memiliki sifatal-anaat, akan senantiasa tenang, stabil, dan berfikir sebelum berbuat. Ia terhindar dari sikap terburu-buru atau pengaruh tekanan psikologis tertentu.
Banyak keputusan yang pernah kita ambil. Bila saja sebelum memutuskannya kita lebih tenang sedikit, barangkali kita akan bersikap lain. Tetapi tergesa-gesa dan tekanan situasi sesaat mendorong seseorang mengambil sikap keliru dan tidak logis. Karenanya sifatal-anaat, memiliki peranan penting untuk menghindari kesalahan seperti ini.
Sifatal-anaatsangat penting dalam menghadapi berbagai permasalahan yang mengusik dada setiap muslim di setiap saat dan di manapun ia berada. Dengan sikap ini, ia akan berusaha tenang dan berpikir panjang, juga bermusyawarah, sehingga akhirnya mampu mengambil solusi yang tepat.
Jika ingin tahu urgensi sifatal-anaat, lihatlah fenomena perubahan mendadak pada banyak orang. Diskusi singkat atau pertemuan terbatas dan hanya dalam beberapa hari atau pekan, dapat mengubah total prinsip serta ideologi sesorang. Bahkan sebagian orang langsung berubah hanya dalam pertemuan pertama, atau bacaan perdana. Absennya sifatal-anaatadalah satu-satunya alasan logis atas perubahan irasional tersebut.
Lemahnya sifatal-anaatpada diri seseorang menyebabkan ia rentan tergores pecahan efek psikologis. Kondisi psiklogis berpengaruh begitu kuat, mengalahkan usaha mencari kebenaran dengan neraca keadilan. Kondisi psikologis tersebut mengarahkannya pada persepsi global yang cacat, tidak komprehensif dan tidak cermat.
Al-Anaatadalah inti akal. Semakin tinggi kecerdasan dan kesadaraan seseorang, maka ia akan semakin tenang dalam berfikir. Orang yang berpikiran pendek selalu terburu-buru dalam menanggapi berbagai masalah atau syubhat. Akal bukanlah bahan teoritis atau kondisi emosional, melainkan ia adalah kesadaran, dan kesadaran tak bisa didapat tanpa kesabaran dan sikap tenang.
Sifatal-anaatmenuntut seseorang berpikir panjang, selalu bermusyawarah dan bersikap adil. Dengan demikian ia mampu menempatkan persoalan pada posisi ideal, dan memberikan solusi yang tepat dan obyektif. Semua problem tersebut intinya sama saja dengan perkara lain yang tidak diketahui, kemudian ia berusaha mempelajarinya. Memang, semua proses ini dapat merubah pendirian seseorang, tetapi hal ini jarang terjadi. Apalagi ia telah berhasil membedakan mana yang benar dan mana yang salah.
Seseorang dikatakan bijaksana manakala ia menyadari bahwa dalam memahami dan mengevalusai berbagai persoalan tidak cukup dengan modal akal dan percaya diri semata. Atau rasa kemandirian dan individualitas, serta persaan-perasaan lain yang hanya menjadi hiasan logika, sedang esensinya bukanlah perkara logis. Untuk memahami dan mengevaluasi pemikiran diperlukan waktu yang panjang, sampai akal seseorang mampu mengambil sikap yang benar. Artinya ia harus tenang dan tidak tergesa-gesa dalam berpikir. Setelah sampai pada masa dan tempo yang cukup, barulah ia dapat mengambil keputusan.
Kita sadar, bahwa ungkapan seperti ini tidak begitu menarik bagi generasi muda. Apalagi di zaman ini mayoritas generasi muda merasa bangga dengan logikanya, merasa mandiri dan mampu menyelesaikan segala perkara. Tetapi, sebaiknya orang bijaksana menahan akalnya hingga benar-benar mampu berpikir logis, bukan sekedar emosi.
Berpikir dengan tenang dapat merealisasikan nilai dan posisi pengetahuan sebagaimana mestinya. Maksudnya, hendaklah ia memiliki wawasan luas dan pengetahuan yang memadai tentang sebuah topik, sebelum kemudian menentukan sikapnya:
"Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. (QS. al-Isra': 36)
Dengan sikap tenang dan sabar seseorang mampu menimbang berbagai perkara yang berbeda dengan cermat, sehingga dapat memilah maslahat dari mafsadat, lalu membuat komparasi antara keduanya. Ia juga mampu membandingkan antara dua kebaikan, lantas memilih yang terbaik. Menimbang antara dua keburukan, kemudian meninggalkan yang terburuk. Ini adalah fase pemikiran tingkat tinggi. Orang yang baru memulai menulis sebuah ide takkan mampu mencapainya, sehingga ide tersebut bersemayam di otaknya selama dua puluh empat jam sebelumnya.
Stabilitas dalam menyikapi permasalahan akan memudahkannya membedakan antara kondisi asal dengan problem. Jika muncul problem parsial pada hukum asal yang global, maka tentu saja ia tidak akan meruntuhkan hukum asal tersebut hanya karena problem parsial dadakan. Sebab dampak negatif dari runtuhnya hukum global jauh lebih besar. Sikap yang benar adalah menjaga hukum asal yang ada, baru kemudian mencari solusi untuk problem yang muncul. Jika ada bangunan yang telah sempurna, lalu seseorang melihat cacat kecil, atau ukiran yang tak pada tempatnya, maka sungguh tidak bijaksana jika ia meruntuhkan bangunan tersebut hanya karena sebuah cacat biasa.
Problem-problem ini laksana martil penghancur kekebalan hati sebagian generasi muda, sehingga ia siap untuk berubah. Bukan karena kerasnya hantaman problem tersebut, tetapi karena hancurnya pertahanan diri. Bila ia bisa bersikap sabar dan tenang dalam menghadapi problem tersebut, niscaya ia mampu menyikapinya dengan tepat dan logis. Terkadang permasalahan tak kunjung hilang, padahal ia sudah berusaha sabar dan tenang. Pada kondisi ini, sebenarnya jiwanya sudah terpengaruh efek problem tersebut, bukan kondisi jasmani akibat hantaman martil.
Sifatal-anaatadalah master penjamin pemikiran, yang dapat menjaga dari penyimpangan. Gejala yang datang bersama sebuah syubhat jauh lebih berbahaya dari syubhat itu sendiri. Gerakan perubahan yang terjadi esensinya bukan karena sebuah persoalan, melainkan pengaruh psikologis dari  persoalan itu. Unsur yang paling berperan membakar mental adalah ketergesaan. Dan jaminan terbesar yang dapat menghindari dari bahayanya adalah sifatal-Anaat/sabar dan tenang.
Buah utama dari sabar dan tenang adalah do'a. Realita ini tidak bisa dihadapi dengan metode matematis. Kita sedang berhadapan dengan sebuah jiwa yang labil, berbolak-balik antara nafsu syahwat yang disertai lalai dan lupa. Dimana tekanan dan perubahan apa pun sangat mempengaruhinya.  Tidak semua ide adalah hasil pemikiran sesungguhnya, tetapi bisa jadi nafsu syahwat yang Anda kira sebuah pemikiran logis. Dalam situasi seperti inilah hendaknya kita kembali kepada Allah, merendahkan diri seraya bermunajat dengan tulus:
Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. (QS. al-Ankabut: 69)
Lantaran ini jualah, maka Rasulullah berdo'a:
Ya Allah, Tuhan Malaikat Jibril, Mikail dan Israfil, Tuhan pencipta langit dan bumi, Tuhan yang Maha Mengetahui semua yang ghaib dan nyata. Engkaulah yang akan menghakimi para hamba-Mu mengenai apa sahaja yang mereka perselisihkan. Dengan izin-Mu berilah aku petunjuk memilih kebenaran dari apa yang mereka perselisihkan. Engkaulah yang memberi petunjuk kepada siapa yang Engkau kehendaki ke jalan yang lurus.[4]
Alangkah mulianya Anda saat memohon pilihan kepada Allah. Meminta petunjuk kebenaran kepada-Nya atas kesulitan dan kontroversi yang ada. Anda mengakui kekurangan, kelemahan, dan hawa nafsu yang meraja. Kemudian menggantungkan segalanya kepada Dzat Yang memiliki segala sesuatu.
Sungguh sebuah momen agung yang tidak akan dirasakan kecuali oleh mereka yang bersifat sabar dan tenang. Besar kemungkinan ia mendapat petunjuk kebenaran. Sedangkan orang yang hanya bergantung pada diri, logika, dan segala kekurangannya, maka sangat besar kemungkinan ia terjerumus pada kerendahan, kehinaan, serta perkara-perkara irasional.  (Albayan.co.uk/id)


[1]. HR. Bukhari, no. 6507, dan Muslim, no. 2684.
[2]. HR. Bukhari, no. 103, dan Muslim, no. 2876.
[3].Muttafaq 'alaih.
[4].HR. Muslim, no. 770.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Read more: http://www.bum1.info/2012/04/cara-membuat-navigasi-paging-halaman.html#ixzz1rc16orji